ABDULLAH IBNU RAWAHAH
Waktu itu
rasulullah saw. Sedang duduk di suatu tempat dataran tinggi kota Mekah,
menghadapi para utusan yang dating dari kota Madinah yang berjumlah 12 orang
yang kemudian dikenal dengan nama Kaum Anshar (penolong Rasul). Mereka sedang
dibai’at Rasul (diambil janji sumpah setia) yang terkenal pula dengan nama
Bai’’ah al-Aqabah al-Ula (Aqabah pertama). Merekalah pembawah dan penyair islam
pertama ke kota Madinah sekaligus membuka jalan bagi hijrah Nabi dan membawah
kemajuan pesat bagi Agama Allah, yaitu Islam. Salah satu utusan yang dibai’at
Nabi adalah Abdullah bin Rawahah.
Sesudah
Rasulullah bersama sahabatnya hijrah ke Madinah dan menetap disana, maka
Abdullah bin Rawahah pulalah yang paling
banyak usaha dan kegiatannya dalam membelah agama dan mengukuhkan
sendi-sendinya. Ia juga yang selalu mengawasi Abdullah bin Ubay (pemimpin
golongan munafik) yang tak putus-putusnya berusaha menjatuhkan Islam dengan
tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Berkat kesiagaan Abdullah bin Rawahah
yang selalu mengawasi Abdullah bin Ubay sehingga kejahatannya terhadap Islam
dapat dipatahkan.
Ibnu Rawahah
adalah seorang penulis yang tinggal di suatu lingkungan yang langka dengan
kepandaian tulis dan membaca. Ia juga seorang penyair yang lancar, yang
untaiyan syair-syairnya meluncur dari lidahnya dengan kuat dan indah di dengar.
Pada suatu
hari, beliau duduk bersama para sahabtnya, tiba-tiba datanglah Abdullah bin
Rawahah, lalu Nabi bertanya kepadanya : “apa yang anda lakukan bila anda hendak
mengucapkan syair?”
Jawab Abdullah:
“kurenungkan dulu, kemudian baru ku-ucapkan”. Lalu teruslah ia mengucapkan
syairnya tanpa bertangguh. Orang-orang Islam pun sering mengulang-ulangi
syair-syairnya yang indah.
Penyair Rawahah
yang produktif ini amat berduka sewaktu turun ayat al-Quranul Karim:
وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ
الْغَاوُونَ
Yang artinya:
“dan para
penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat”.(Q.S 26 asy-Syu’ara: 224)
Tetapi kedukaannya jadi terlipur
waktu turun pula ayat lainnya:
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا
الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ كَثِيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا
ظُلِمُوا ۗ وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ
ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ يَنْقَلِبُونَ
Artinya:
“kecuali
orang-orang (penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak ingat kepada
allah, dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya”. (Q.S 26 asy-Syu’ara: 227)
Dan sewaktu islam terpaksa terjun
kemedan perang karena membela diri, tampillah Abdullah bin Rawahah membawah
pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandak, Hudaibiah dan Khaibar, seraya
menjadikan kalimat-kalimat syairnya dan qashidhnya menjadi slogan perjuangan:
“wahai diri! Seandainya engkau tidak
tewas terbunuh, tetapi engkau pasti akan mati juga!”
Dan datanglah waktunya perang Muktah
. . . Abdullah bin Rawahah adalah panglima ke tiga dalam pasukan Islam.
Ibnu Rawahah berdiri dalam keadaan
siap bersama pasukan islam yang berangkat meninggalkan kota Madinah. Ia tegak
sejenak lalu berkata, mengucapkan syairnya:
“yang kupintah kepada Allah Yang Maha
Rahman
Keampuanan dan kemenangan di medan
perang
Dan setiap ayunan pedangku memberi
ketentuan
Bertekuk lututnya angkatan perang
syetan
Akhirnya aku tersungkur memenuhi
harapan
Mati syahid di medan peran . . .!!”
Benar, itulah cita-citanya kemenangan
dan hilang terbilang.
Balatentara islam maju bergerak ke medan
perang Muhtak. Sewaktu orang islam dari kejahuan telah dapat melihat
musuh-musuh mereka, mereka memperkirakan besarnya balatentara Romawi sekitar
2000. Karena menurut kenyataan barisan tentara mereka seakan taka da ujungnya.
Orang-orang islam yang melihat jumlah
mereka yang sangat sedikit lalu terdiam. Tetapi Ibnu Rawahah , bagaikan
datangnya siang bangun berdiri di antara barisan pasukan-pasukannya lalu
berucap:
“kawan-kawan sekalian! Demi Allah,
sesungguhnya kita beroerang melawan musuh-musuh kita bukan berdasarkan
bilangan, kekuatan atau banyaknya jumlah . . .! kita tidak memerangi mereka
melainkan mempertahankan Agama kita ini, yang dengan memeluknya kita telah
dimuliakan Allah . . . !”
Dengan bersorak-sorak Kaum Muslimin
yang sedikit bilangannya tetapi besarnya imamnya itu menyatakan setuju.
Demikianlah, pasukan terus
ketujuannya, dengan jumlah yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan bangsa
Romawi.
Kedua pasukan balatentara itu pun
bertemu, berkecemuklah pertempuran antara keduanya, sebagai mana kita telah
sebutkan dahulu.
Pemimpin yang pertama Zaid bin
Haritsah gugur sebagai syahid yang mulia, disusul pemipin yang ke dua Ja’raf
bin Abi Thalib, hingga dia memperoleh syahidnya puladengan penuh kebesaran, dan
menyusul pula pemimpin yang ke tiga ini, Abdullah bin Rawahah. Dikalah itu ia
memungut panji perang dari tangan kanan Ja’raf, sementara peperangan telah
mencapai puncaknya.
Ketika ia bertempur sebagai seorang prajurit, Ibnu
Rawahah menerja ke muka dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu
dan peduli. Sekarang setelah menjadi panglima seluruh pasukan, yang akan
dimintai tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya.
Terlihat kehebatan
tentara Romawi , seketika terlintas rasa kecut dan ragu-ragu pada dirinya.
Tetapi saat itu hanya sekejap , kemudian ia membangkitkan seluruh semangat dan
kekuatannya dan melenyapkan semua kekhawatiran dari dirinya, sambil berseru:
“Aku telah bersumpah wahai diri, maju kemedan
laga
Tapi kenapa kulihata, engkau menolak surga . . .
Wahai diri, bila kau tak tewas terbunuh, kau kan
pasti mati
Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti
. . .
Tibalah waktunya apa yang engkau idam-idamkan
selama ini
Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah kesatria sejatih
. . .!”
(Maksudnya, kedua sahabatnya Zaid dan Ja’far
yang telah gugur sebagai syuhada). “Jika kamu berbuat seperti keduanya , itulah kesatria
sejati . . . .!” Ia pun maju meryerbu orang-orang Romawi dengan tabahnya . . .
. Kalau tidaklah taqdir Allah yang menentukan , bahwa hari itu adalah saat
janjinya akan ke surga, niscaya ia akan terus menebas musuh dengan pedangnya,
hingga dapat menewaskan sejumlah besar dari mereka. Tetapi lonceng
keberangkatan sudah berdenting , yang memberitahukan awal perjalanannya pulang
ke hadlirat Allah, maka naiklah ia sebagai syahid. Jasatnya jatuh terkapar, tapi
rohnya yang suci dan perwira naik menghadap Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha
Tinggi, dan tercapailah puncak idamannya
Selagi pertempuran sengit sedang berkecambukan
di bumi Balqa’ di Syam , Rasulullah saw. sedang
duduk beserta para sahabatnya di Madinah, sambil mempercakapan mereka.
Tiba-tiba kedua matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau mengangkatkan wajahnya
dengan mengedipkan kedua matanya, untuk melepas air mata yang jatuh disebabkan
rasa duka dan belas kasihan. Seraya memandang
berkeliling ke arah wajah sahabarnya dengan pandangan haru, beliau
berkata: “Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah, ia bertempur bersamanya
hingga ia gugur sebagai syahid. Kemudian diambil alih oleh Ja’far, dan ia
bertempur pula bersamanya sampai syahid pula”. Beliau berdiam sebentar , lalu
diteruskannya ucapannya: “Kemudian panji itu dipegang oleh Abdullah bin Rawahah
dan ia bertempur bersama panji itu, sampai akhirnya ia pun shayid pula”.
Kemudian
Rasul diam lagi seketika , sementara mata beliau bercahaya , menyinarkan
kegembiraan, ketentraman dan kerinduan,
lalu katanya pula: “Mereka bertiga diangkat ke tempatku ke surga. . . “.
Perjalanan
mana lagi yang lebih mulia . . . .
Kesepakatan
mana lagi yang lebih berbahagia . . .
Mereka maju ke medan laga bersama-sama . . . .
Dan mereka
naik ke surga bersama-sama pula . . . .
Dan
penghormatan terbaik yang diberikan untuk mengenangkan jasa mereka yang abadi,
ialah ucapan Rasulullah saw. yang berbunyi:
“Mereka telah diangkatkan ke tempaku ke surga . . . .“
==>klik disini Abdullah ibnu Rawahah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar