ABDULLAH IBNU RAWAHAH
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEigr5ZeOH6KnssdU9PjlJwd9QLbJLvq9hj8gcJNmiAjZlp7Jyiim7fT7HRiaRvbyO6vc7JmCEIRPmELSyxgxWbcXsivkywHFs4RoBNrSGKYJMZ0PkIkwa0719moZ31oU8oHhOVEzP3mGCrQ/s200/seri_para_sahabat_nabi____abdullah_ibnu_rawahah___penyair_ya.jpg)
Waktu itu
rasulullah saw. Sedang duduk di suatu tempat dataran tinggi kota Mekah,
menghadapi para utusan yang dating dari kota Madinah yang berjumlah 12 orang
yang kemudian dikenal dengan nama Kaum Anshar (penolong Rasul). Mereka sedang
dibai’at Rasul (diambil janji sumpah setia) yang terkenal pula dengan nama
Bai’’ah al-Aqabah al-Ula (Aqabah pertama). Merekalah pembawah dan penyair islam
pertama ke kota Madinah sekaligus membuka jalan bagi hijrah Nabi dan membawah
kemajuan pesat bagi Agama Allah, yaitu Islam. Salah satu utusan yang dibai’at
Nabi adalah Abdullah bin Rawahah.
Sesudah
Rasulullah bersama sahabatnya hijrah ke Madinah dan menetap disana, maka
Abdullah bin Rawahah pulalah yang paling
banyak usaha dan kegiatannya dalam membelah agama dan mengukuhkan
sendi-sendinya. Ia juga yang selalu mengawasi Abdullah bin Ubay (pemimpin
golongan munafik) yang tak putus-putusnya berusaha menjatuhkan Islam dengan
tidak menyia-nyiakan setiap kesempatan yang ada. Berkat kesiagaan Abdullah bin
Rawahah yang selalu mengawasi Abdullah bin Ubay sehingga kejahatannya terhadap
Islam dapat dipatahkan.
Ibnu Rawahah
adalah seorang penulis yang tinggal di suatu lingkungan yang langka dengan
kepandaian tulis dan membaca. Ia juga seorang penyair yang lancar, yang
untaiyan syair-syairnya meluncur dari lidahnya dengan kuat dan indah di dengar.
Pada suatu
hari, beliau duduk bersama para sahabtnya, tiba-tiba datanglah Abdullah bin
Rawahah, lalu Nabi bertanya kepadanya : “apa yang anda lakukan bila anda hendak
mengucapkan syair?”
Jawab Abdullah:
“kurenungkan dulu, kemudian baru ku-ucapkan”. Lalu teruslah ia mengucapkan
syairnya tanpa bertangguh. Orang-orang Islam pun sering mengulang-ulangi
syair-syairnya yang indah.
Penyair Rawahah
yang produktif ini amat berduka sewaktu turun ayat al-Quranul Karim:
وَالشُّعَرَاءُ يَتَّبِعُهُمُ
الْغَاوُونَ
Yang artinya:
“dan
para penyair, banyak pengikut mereka orang-orang sesat”.(Q.S 26 asy-Syu’ara:
224)
Tetapi kedukaannya
jadi terlipur waktu turun pula ayat lainnya:
إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَذَكَرُوا اللَّهَ
كَثِيرًا وَانْتَصَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا
ظُلِمُوا ۗ
وَسَيَعْلَمُ الَّذِينَ ظَلَمُوا أَيَّ مُنْقَلَبٍ يَنْقَلِبُونَ
Artinya:
“kecuali
orang-orang (penyair) yang beriman dan beramal shaleh dan banyak ingat kepada
allah, dan menuntut bela sesudah mereka dianiaya”. (Q.S 26 asy-Syu’ara: 227)
Dan sewaktu islam
terpaksa terjun kemedan perang karena membela diri, tampillah Abdullah bin
Rawahah membawah pedangnya ke medan tempur Badar, Uhud, Khandak, Hudaibiah dan
Khaibar, seraya menjadikan kalimat-kalimat syairnya dan qashidhnya menjadi slogan
perjuangan:
“wahai diri!
Seandainya engkau tidak tewas terbunuh, tetapi engkau pasti akan mati juga!”
Dan datanglah
waktunya perang Muktah . . . Abdullah bin Rawahah adalah panglima ke tiga dalam
pasukan Islam.
Ibnu Rawahah
berdiri dalam keadaan siap bersama pasukan islam yang berangkat meninggalkan
kota Madinah. Ia tegak sejenak lalu berkata, mengucapkan syairnya:
“yang kupintah
kepada Allah Yang Maha Rahman
Keampuanan dan
kemenangan di medan perang
Dan setiap ayunan
pedangku memberi ketentuan
Bertekuk lututnya
angkatan perang syetan
Akhirnya aku
tersungkur memenuhi harapan
Mati syahid di
medan peran . . .!!”
Benar, itulah
cita-citanya kemenangan dan hilang terbilang.
Balatentara islam
maju bergerak ke medan perang Muhtak. Sewaktu orang islam dari kejahuan telah
dapat melihat musuh-musuh mereka, mereka memperkirakan besarnya balatentara
Romawi sekitar 2000. Karena menurut kenyataan barisan tentara mereka seakan
taka da ujungnya.
Orang-orang islam
yang melihat jumlah mereka yang sangat sedikit lalu terdiam. Tetapi Ibnu
Rawahah , bagaikan datangnya siang bangun berdiri di antara barisan
pasukan-pasukannya lalu berucap:
“kawan-kawan
sekalian! Demi Allah, sesungguhnya kita beroerang melawan musuh-musuh kita
bukan berdasarkan bilangan, kekuatan atau banyaknya jumlah . . .! kita tidak
memerangi mereka melainkan mempertahankan Agama kita ini, yang dengan
memeluknya kita telah dimuliakan Allah . . . !”
Dengan
bersorak-sorak Kaum Muslimin yang sedikit bilangannya tetapi besarnya imamnya
itu menyatakan setuju.
Demikianlah,
pasukan terus ketujuannya, dengan jumlah yang jauh lebih sedikit dibandingkan
dengan bangsa Romawi.
Kedua pasukan
balatentara itu pun bertemu, berkecemuklah pertempuran antara keduanya, sebagai
mana kita telah sebutkan dahulu.
Pemimpin yang
pertama Zaid bin Haritsah gugur sebagai syahid yang mulia, disusul pemipin yang
ke dua Ja’raf bin Abi Thalib, hingga dia memperoleh syahidnya puladengan penuh
kebesaran, dan menyusul pula pemimpin yang ke tiga ini, Abdullah bin Rawahah.
Dikalah itu ia memungut panji perang dari tangan kanan Ja’raf, sementara
peperangan telah mencapai puncaknya.
Ketika ia bertempur sebagai seorang prajurit, Ibnu
Rawahah menerja ke muka dan ke belakang, ke kiri dan ke kanan tanpa ragu-ragu
dan peduli. Sekarang setelah menjadi panglima seluruh pasukan, yang akan
dimintai tanggung jawabnya atas hidup mati pasukannya.
Terlihat kehebatan tentara Romawi , seketika terlintas rasa kecut dan
ragu-ragu pada dirinya. Tetapi saat itu hanya sekejap , kemudian ia
membangkitkan seluruh semangat dan kekuatannya dan melenyapkan semua
kekhawatiran dari dirinya, sambil berseru:
“Aku telah bersumpah wahai diri, maju kemedan laga
Tapi kenapa kulihata, engkau menolak surga . . .
Wahai diri, bila kau tak tewas terbunuh, kau kan pasti mati
Inilah kematian sejati yang sejak lama kau nanti . . .
Tibalah waktunya apa yang engkau idam-idamkan selama ini
Jika kau ikuti jejak keduanya, itulah kesatria sejatih . . .!”
(Maksudnya, kedua sahabatnya Zaid dan Ja’far yang telah gugur sebagai
syuhada). “Jika kamu berbuat seperti
keduanya , itulah kesatria sejati . . . .!” Ia pun maju meryerbu orang-orang
Romawi dengan tabahnya . . . . Kalau tidaklah taqdir Allah yang menentukan ,
bahwa hari itu adalah saat janjinya akan ke surga, niscaya ia akan terus
menebas musuh dengan pedangnya, hingga dapat menewaskan sejumlah besar dari
mereka. Tetapi lonceng keberangkatan sudah berdenting , yang memberitahukan
awal perjalanannya pulang ke hadlirat Allah, maka naiklah ia sebagai syahid.
Jasatnya jatuh terkapar, tapi rohnya yang suci dan perwira naik menghadap Zat
Yang Maha Pengasih lagi Maha Tinggi, dan tercapailah puncak idamannya
Selagi pertempuran sengit sedang
berkecambukan di bumi Balqa’ di Syam , Rasulullah saw. sedang duduk beserta para sahabatnya di Madinah, sambil
mempercakapan mereka. Tiba-tiba kedua matanya jadi basah berkaca-kaca. Beliau
mengangkatkan wajahnya dengan mengedipkan kedua matanya, untuk melepas air mata
yang jatuh disebabkan rasa duka dan belas kasihan. Seraya memandang berkeliling ke arah wajah sahabarnya dengan
pandangan haru, beliau berkata: “Panji perang dipegang oleh Zaid bin Haritsah,
ia bertempur bersamanya hingga ia gugur sebagai syahid. Kemudian diambil alih
oleh Ja’far, dan ia bertempur pula bersamanya sampai syahid pula”. Beliau berdiam
sebentar , lalu diteruskannya ucapannya: “Kemudian panji itu dipegang oleh
Abdullah bin Rawahah dan ia bertempur bersama panji itu, sampai akhirnya ia pun
shayid pula”.
Kemudian Rasul diam lagi
seketika , sementara mata beliau bercahaya , menyinarkan kegembiraan, ketentraman dan kerinduan, lalu katanya pula:
“Mereka bertiga diangkat ke tempatku ke surga. . . “.
Perjalanan mana lagi yang
lebih mulia . . . .
Kesepakatan mana lagi yang
lebih berbahagia . . .
Mereka maju ke medan laga bersama-sama . . . .
Dan mereka naik ke surga
bersama-sama pula . . . .
Dan penghormatan terbaik yang
diberikan untuk mengenangkan jasa mereka yang abadi, ialah ucapan Rasulullah
saw. yang berbunyi:
“Mereka telah diangkatkan ke tempaku ke surga . . . .“
==> kunjungi di link ini Abdullah ibnu Rawahah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar